Kamis, 07 Februari 2013


PROSPEK PEMUDA
DALAM MEMBANGUN KEMBALI NASIONALISME

Oleh : M.Jusar Nasution


 Tatkala Sumpah Pemuda diperingati setiap 28 Oktober, ketika itu pula kita diingatkan akan Nasionalisme, karena memang itulah intinya. Sejarah menunjukkan ikatan seluruh wilayah Nusantara terjadi ketika konsep tentang Negara-Bangsa (Nation-State) hadir. Kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari anak-anak muda Indonesia pada pergerakan Nasional hingga tercetus Sumpah Pemuda 1928.
            Dari “konsep sederhana” yang baru berisi kesepakatan hidup dalam satu nusa, bangsa, dan bahasa itulah konsep Negara-Bangsa Indonesia berakar. Namun “konsep sederhana” itu hingga sekarang belum dikembangkan kedalam pemaknaan nilai kebangsaan yang total dan utuh. Dalam kondisi keindonesiaan yang mejemuk, rentan konflik, dan lemahnya perluasan dan pemaknaan nasionalisme, diperlukan suatu institusi penengah yang bisa bertindak sebagai wasit yang adil dengan menegakkan tertib politik dibawah kepemimpinan hukum. Dan institusi itu adalah Negara.
            Masalah utama politik Indonesia justru terletak pada ketiadaan institusi negara yang mampu menjadi wasit yang adil. Praktek kenegaraan yang berlangsung hingga kini hanya melanjutkan perilaku negara kolonial yang tak mampu menegakkan  supremasi hukum, memberi rasa aman dan rasa adil bagi sektor kebangsaan.
            Lebih parah lagi, bahkan negara seolah-olah menjadi “gladiator” yang ikut berada didalam medan pertarungan merebut “kehidupan” berbangsa dan bernegara. Didalam ketiadaan keadilan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan diri, manusia-manusia Indonesia lebih nyaman untuk memilih menjadi warga tribus (tribalisme, premanisme, atau sektariarisme) ketimbang warga negara (Yudi Latif, 2001).
            Kondisi itulah selanjutnya yang memunculkan pemimpin-pemimpin informal dan lokal yang kuat, tapi miskin wawasan kebangsaan. Kehidupan keseharian kita sebagai sebuah Negara, hanya diisi dengan aktivitas-aktivitas yang mengedepankan kepentingan-kepentingan perorangan, kelompok atau golongan.
            Persoalan ekonomi politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya dirumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara (Yang merupakan satu kelompok tribus) mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri., maka individu-individu atau kelompok lain akan segera berpaling dan membentuk tribus yang lain.
            Disinilah persoalan ekonomi politik yang objektif disublimasikan kedalam bentrokan identitas yang subyektif. Politik kekerasan yang dikembangkan kedalam bentrokan identitas yang subyektif. Politik kekerasan yang dikembangkan oleh negara segera menjelma menjadi kekerasan politik yang menyumbat proses demokrasi dan lahirnya civil society yang sehat.
            Belajar dari keruntuhan Uni Soviet, penggunaan instrumen kekerasan tidak mampu menjaga keutuhan negeri itu. Kesan bahwa etnik Rusia dalam pandangan etnik-etnik lain telah melakukan proses dominasi didalam “pertarungan” memaknai hakikat dan cita-cita suatu bangsa telah menjadi pemicu terjadinya pemberontakan yang akhirnya meluluh-lantakan Uni Soviet. Kalaupun kekerasan itu tidak dapat dilakukan dan tidak ada pengaruhnya langsung, tentu kekerasan itu disembunyikan oleh kebohongan, dan kebohongan hanya dapat dipelihara dengan kekerasan (Alxander Solzhenitsyin, 1989).
            Fakta-fakta yang ada dibelahan dunia lain juga telah membuktikan tidak ada suatu bangsapun dapat menjadi besar jika terus-menerus dilanda konflik dan perpercahan. Di Afrika misalnya, hingga kini Rwanda masih saja terus tebelit konflik antara suku Tutsi dan Hutu. Shierra Leon, Sudan dan lainnya telah menunjukkan bahwa anarki, pembunuhan massal, kemiskinan, hancurnya solidaritas sosial, dan rusaknya lingkungan (Robert D. Kaplan, 2000).
            Pada titik ini, proses untuk memaknakan “Indonesia” menjadi sebuah keniscayaan. Proses ini dapat dianggap sebagai proses penormaan kembali (Process of  Renorming) fokus utamanya, sebagaimana disebut Francis Fupuyama, ada pada dekonstruksi dan rekonstruksi. Indonesia tidak harus dipahami sebagai suatu terminologi dalam kesatuan yang utuh secara geografis, tapi lebih pada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan konsep kewarganegaraan.
            Nilai kemanusiaan yang harus dipahami dalam konteks hubungannya dengan negara bangsa adalah pertama, bagaimana seorang manusia memahami bahwa ada semangan persaudaraan didalam ikatan suatu wilayah.kedua, bahwa kata bangsa tidaklah muncul dalam wujud nyata, tetapi akan terungkap didalam semangat psikologis memori kolektif warganya. Ketiga, bahwa kehadiran manusia masih mendahului kehadiran bangsa. Seorang manusia tetaplah manusia, tanpa sebuah bangsa. Disisi lain bahwa mustahil membayangkan sebuah bangsa tanpa manusia didalamnya.
            Lebih jauh, pemahaman tetang konsep cara pandang kewarganegaraan kitapun harus dibenahi. Dalam membangun pemahaman tentang kewarganegaraan yang proporsional, kita harus mendalami defenisi tentang istilah kota (Polish, Madinah), keberadaan Civility, kemuliaan Nobility, keteratusan Order, dan tertib sosial atau santun berkeadaban Polite. Singkatnya menjadi warga politik berarti menjadi manusia beradab berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih santun civilize dan ramah sociable (Fernand Braudel, 1993).
            Intinya adalah bahwa tugas insan politik (warga negara) adalah membangun suatu civil societi, mengembangkan tertib politik dan nilai-nilai keberadan dibawah kepemimpinan hukum. Menjadi warga politik (negara) berarti hidup disuatu tempat dimana segala sesuatunya diselesaikan lewat kata dan persuasi, bukan dengan paksaan dan kekerasan ( Hannah Arendt, 1977). Dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat ancaman, kebiasaan memaksa ketimbang membujuk dinilai sebagai cara-cara Pra-politik ( Pra-Negara).
            Dalam kondisi kekinian Indonesia, pemaksaan pemahaman kebangsaan seperti diatas tidaklah arif dan justru bertentangan dengan pemahaman kebangsaan itu sendiri. Penyelesaian pelbagai persoalan yang dihadapi oleh negara kita saat ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam jangka pendek, penyelesaian persoalan yang menyangkut menjaga keutuhan bangsa adalah bagaimana para elit politik sama-sama mengedepankan konsep rekosiliasi nasional yang konkrit, yang mengedepankan kepentingan bangsa, dan komitmen menempatkan hukum diatas seluruh penyelesaian masalah bangsa.
            Untuk jangka menengah dan panjang, perlu pula dirumuskan suatu pola pembinaan yang sistematis, terpadu dan berkala bagi generasi muda untuk mendalami dan memahami wawasan dan komitmen kebangsaan. Hal ini penting, agar perjalanan masa depan Indonesia tidak lagi mengalami krisis kebangsaan seperti saat ini. Kaum muda yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan bangsa, sejak dini harus dibekali pemahaman tentang peta persoalan kebangsaan (Nasionalisme) hari ini serta juga memahami apa sesungguhnya nilai-nilai dan menjadi modal sosial dalam pembangunan negara.

   

Makalah


BANDINGAN MAKALAH

Atas  Paparan / Makalah

Prof.Dr.Hasan Asari Nasution,MA

&

Drs.ZULKIFLI SIMATUPANG,M.Pd

Pada seminar Pendidikan Sertifikasi dan Professionalisme Guru

Aula UMTS  Padangsidimpuan,30 Juni 2008

Oleh :

Drs.M.JUSAR NASUTION

Ketua Dewan Pendidikan

Kota Padangsidimpuan

  
Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat.
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis, dalam mengapresiasi paparan Bapak Drs.Zulkifli Simatupang,M.Pd  yang disajikan dalam bentuk power point dan Bapak Prof.DR.Hasan Asari Nasution,MA .Secara jujur kami akui bahwa paparan Bapak berdua  sangat menarik.Ditampilkan secara detail dan konprihensip, mudah dipahami dan disampaikan pula dengan bahasa yang cerdas dan komunikaitf. Untuk itulah kami ingin menmyampaikan bandingan dalam bentuk tanggapan sumbang saran dan urun rembuk, beberapa hal yaitu :
1.     Sudah barang tentu, jika ditinjau dari realitas proses sertifikasi yang dilakukan, patut i dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis melahirkan guru professional , dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu? Sebab  Makna profesionalisme guru selama ini masih dimaknai sebatas pada penyelesaian dokumen portofolio. Akibatnya, proses sertifikasi guru belum menuai hasil yang signifikan. Menutut analisa kami, jangankan mengharap pada pembentukan kematangan kompetensi pendidik dalam hal paedagogik, profesional, berkepribadian, dan sosial, untuk menuju perbaikan kualitas pengajaran saja, guru masih mengalami kesulitan.Hal tersebut diakibatkan sistem rekruitmen guru untuk masuk pada kategori tersertifikasi, hanya  (meminjam istilah domain poliitik) previkasi administratif tetapi tidak  secara konkrit memasuki wilayah previkasi faktual, yang memastikan si guru punya kompetensi yang benar dalam melakukan proses sebagai agen pembelajaran.Maka sangat mungkin mereka yang terjaring sebagai guru tersertifikasi adalah guru ahli kearsipan, ahli sulap dokumen pembelajaran  dan tukang kumpul  piagam seminar, tepai kering dari nilai-nilai sosok pendidik yang digugu dan ditiru. Untuk itu,setidaknya perlu adanya penyadaran tentang hakikat profesionalisme guru. Jika guru (dan tentu sasa Pemerintah) masih saja terjebak kepada pemaknaan yang dangkal terhadap sertifikasi, harapan menjadikan guru semakin profesional hanya menjadi angan-angan belaka  
2.     Jika  kita lihat dari  manfaat sertifikasi guru , sebagaimna ditulis  oleh Bapak Drs.Zulkifli Simatupang,M.Pd  pada power point no.9  dan Bapak Profesor  Dr.Hasan Asari Nasution,MA  pada halaman 8, salah satu diantraranya adalah Perlindungan terhadap profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten  , yang dapat merusak profesi guru.Nah pada konteks ini, jalan menuju sertifikasi, khususnya pada  persyuaratan sebagaimana Bapak-Bapak kemukakan dalam Makalah/Paparan salah satu diantaranya adalah  memiliki kualifikasi akademik.Maka dibeberapa media massa kita temukan ironi,guru memalsukan ijazah, dilain sisi banyak guru “mendadak mahasiswa” untuik mengejar secarik ijazah, tapi tidak pernah menyentuh wilayah khasanah ilmu demi mengejar kompetensi ideal sebagai guru.Ketika kita masuk pada kajianb ini maka wilayah yang terlibat pada upaya menciptakan benang merah antara sertifikasi dan profesionalisme, juga melibatkan  dunia Perguraun  Tinggi  sebagai LPTK.  Pekerjaan rumah yang tak kalah besar ialah mendidik calon guru demi menciptakan generasi guru baru yang intelek, transformatif dan profesional. Bukan sekadar tukang dan operator. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Mau tidak mau, perlu dikaji terlebih dahulu lembaga yang selama ini menghasilkan tenaga guru.
Tidak ada salahnya, lembaga pendidikan yang melahirkan tenaga guru belajar dari Fakultas Kedokteran yang mencetak tenaga dokter. Sebuah proses pembelajaran yang ajeg dan meyakinkan, semua pihak percaya dan yakin pada profesionalisme dokter (meski akhir-akhir ini banyak kasus tentang mal praktik). Setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan dokter, ia berhak atas gelar akademis sarjana kedokteran atau dahulu disebut dokter muda. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti kegiatan profesi dokter (ko-asistensi) di rumah sakit yang ditentukan, minimal dua tahun. Di sinilah kawah candradimuka untuk menjadi seorang dokter. Merupakan medan nyata (emphirical field) kerja dokter setelah proses teoritis selama manjalani pendidikan kedokteran. Setelah dinyatakan lulus ujian profesi dokter, barulah ia berhak disebut dokter (dr).
Pemeliharaan profesi dokter pun didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewajibkan dokter untuk mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di daerah yang ditentukan, atau dapat diganti dengan kompensasi tertentu yang dianggap tidak mengurangi nilai pengabdian dan profesionalisme. Demikian juga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau asosiasi profesi guru apa pun namanya, harus dapat berjuang untuk memelihara profesi guru.
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
3      [Ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian kita semua tentang uji kompetensi itu.
Pertama, perlu dievaluasi apakah para guru yang terjaring banyak di antaranya "wajah baru" di daerah masing-masing. Apakah guru-guru yang selama ini berstatus guru inti, guru berprestasi, guru kreatif,guru yang mampu mendorong inovasi siswa, guru yang rajin menulis karya ilmiah, pengelola MGMP di daerah tidak terjaring.Kaualau jawabannya tidak,persoalannya  dimana ?
Di  sisi lain apakah mereka yang tersertifikasi memiliki kemampuan merata baik dalam penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi pendidikan, maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji kompetensi.
Namun, di sisi lain timbul pertanyaan, benarkan mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji kompetensi itu?
Kedua. Ada beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini tidak sesuai latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya kualifikasi akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa terjaring dalam kelompok mata pelajaran Sejarah.
Pendidikan profesi guru harus mampu menjawab problem spesifik keguruan. Persoalan kronis keguruan kita, seperti dituturkan Beeby (1975), adalah “praktik kelas” yang membosankan. Guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas pada buku teks yang dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya dari apa yang pernah dipelajarinya dulu di sekolah.
Setelah menguraikan sesuatu masalah, mereka menghabiskan bagian terbesar jam pelajarannya untuk mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan tulis dan menunggu murid menyalinnya. Catatan itulah yang dipelajari murid dan menjadi bahan ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid, dan pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakatnya.
Pentingnya mempersoalkan penampilan dan kemampuan guru karena merekalah tokoh utama yang mengantar proses pencapaian hierarkis tujuan instruksional ke tujuan pendidikan nasional. Penampilan seorang guru di dalam praktik kelas ditentukan oleh konsep yang dimilikinya tentang pembelajaran.
Pilihan metode bukan sekadar persoalan penyesuaian teknis terhadap topik yang akan disampaikan, melainkan berakar pada cara pandang terhadap manusia (anak) dan bagaimana cara mereka berkebudayaan. Apabila seorang guru memandang anak sebagai makhluk “kosong” dan berkembang secara mekanis, maka ia cenderung memilih mengajar dengan pendekatan pedagogis dengan metode menuang air ke dalam botol (banking system).
Sebaliknya, jika anak dianggap sebagai ciptaan yang berpotensi dan berkembang dinamis, maka yang dipergunakan pendekatan andragogis dengan model pembelajaran dialogis. Tetapi, di Indonesia, kebanyakan guru tidak memiliki pandangan apa-apa tentang anak sehingga yang terjadi adalah “ritual” pembelajaran tanpa kerangka dan jiwa.
Dewasa ini, metodologi pembelajaran mengalami perkembangan sangat pesat. Kemajuan di dalam psikologi kognitif dan psikologi belajar yang ditopang oleh perkembangan teknologi informasi telah mendorong dipergunakannya konsep- konsep baru dalam model pembelajaran.
Misalnya, perubahan konsep mengajar (teaching) menjadi pembelajaran (learning), perluasan definisi kecerdasan dari yang cenderung kognitif ditandai IQ (intelligence quotion) kini berkembang menjadi kecerdasan emosional (emotional quotion/ EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotion/SQ), serta kecerdasan majemuk (multiple intelligence).
Di dalam model pembelajaran pun istilah-istilah baru bermunculan, seperti learning revolution, accelerated learning, quantum learning/teaching. Sayangnya, perkembangan ini belum menyentuh kelas-kelas sekolah kita. Maka, salah satu peran penting pendidikan profesi guru adalah menjembatani kesenjangan ini.


  
Pemerintah secara resmi telah mencanangkan bahwa profesi guru disejajarkan dengan profesi lainnya sebagai tenaga profesional. Dengan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan karena guru sebagai agen pembelajaran merupakan ujung tombak peningkatan proses pembelajaran di dalam kelas yang akan berujung pada peningkatan mutu pendidikan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sebuah sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui uji sertifikasi. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan sebagai guru profesional.
Gagasan utama di balik pendidikan profesi guru adalah peningkatan mutu dan pembaruan pendidikan nasional. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru.
Maka, program sertifikasi seharusnya tidak dipandang sekadar legalisasi untuk memperoleh tunjangan profesi, tetapi lebih sebagai upaya meningkatkan kompetensi melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru diyakini tidak secara otomatis menjadi baik dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengubah motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam bentuk pendidikan profesi.
Guru sebagai profesi
Pendidikan profesi guru mengasumsikan bahwa model penyiapan tenaga kependidikan yang diandalkan selama ini sudah tidak memadai lagi sehingga memerlukan pembaruan. Program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus secara nyata menunjukkan langkah-langkah kemajuan dalam peran guru sebagai sebuah profesi.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah guru profesional macam apakah yang hendak “dicetak” lewat pendidikan profesi dengan 36-an SKS tersebut? Apakah guru-guru dipersiapkan untuk mengantar murid-murid lulus ujian nasional ataukah mereka dipersiapkan untuk mengembangkan potensi murid menjadi good citizen, dan insan paripurna? Di manakah perbedaan mereka dengan guru-guru yang ada sekarang atau dengan diri mereka sendiri sebelum memasuki “salon” profesionalisme itu?
Ketika persoalan ini tidak cukup terang, maka pendidikan profesi guru patut menimbulkan keraguan dan pesimisme karena tidak menawarkan sesuatu yang baru dan tangible kecuali selembar kertas bernama sertifikat.
Guru yang dinamis
Pendidikan profesi guru harusnya dirancang berbeda dengan model pembelajaran di Akta IV, S1, dan S2 keguruan. Pendidikan profesi guru bukan menghasilkan saintis pendidikan dan keguruan, melainkan mendidik seseorang siap dan mahir menjalankan profesinya, seperti pendidikan kepaniteraan (coass) dokter yang siap menangani pasien setamat dari pendidikannya.
Sehubungan dengan waktu yang relatif singkat, maka kompetensi pedagogi, profesional, sosial, dan personal seperti tersebut di dalam UU Guru dan Dosen harus diterjemahkan secara obyektif-terukur dan disampaikan secara praktikal. Apabila guru yang ingin dihasilkan adalah guru dinamis yang dapat mengatasi problem klasik praktik kelas, beberapa usulan dapat dipertimbangkan dalam merancang kurikulum pendidikan profesi guru sebagai berikut.
Pertama, pada masa awal pendidikan diperlukan adanya semacam pelatihan penyadaran profesi yang bertujuan membangun paradigma baru dan ideologi pendidikan serta kebanggaan profesi. Pilihan profesi harus diberikan fondasi filosofis yang terhubung dengan eksistensi dan misi hidupnya. Korelasi ini akan melahirkan motivasi dan energi besar bagi guru dalam menjalankan tugasnya.
Kedua, pembelajaran di kelas disusun tidak berdasarkan pada subject matter (mata pelajaran), tetapi disusun per topik sesuai target sasaran yang diinginkan. Ini penting untuk menghindarkan pendekatan “sistematika-akademis” yang cenderung membahas banyak hal yang kurang signifikan.
Ketiga, pendekatan dan metode yang dipergunakan selama masa pendidikan profesi guru hendaknya merepresentasikan pembelajaran efektif dan partisipatif. Selama pendidikan, guru tidak hanya diperkenalkan pada berbagai metode, tapi sebanyak mungkin mengalami keterlibatan dalam penerapannya. Kegagalan dalam mengajarkan pendekatan dan metode-metode seperti ini sering disebabkan penyampaiannya dengan ceramah.
Keempat, pemagangan dan riset tindakan (action research) haruslah menjadi bagian terbesar dan terpenting dari aktivitas pendidikan profesi guru. Aktivitas ini adalah upaya memberikan keterampilan menemukan, menganalisis, dan memecahkan problem-problem praktik kelas.
Semua program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus dibingkai oleh filosofi mutu dan pembaruan pendidikan. Kurikulumnya harus terukur, menawarkan sesuatu yang baru dan perlu.
Potret Realitas  Guru

Terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan ini disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional, guru yang kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebagai contoh, kasus yang dikemukakan pakar Administrasi Pendidikan UPI Bandung Prof Nanang Fatah, yaitu pada uji kompetensi Matematika. Dari 40 pertanyaan, rata-rata hanya dua pertanyaan yang dijawab dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Penggambaran keadaan itu merupakan fakta yang bukan sepenuhnya merupakan kesalahan guru sebagai individu. Karena, rasanya kurang adil dan tidak bijak kita terus menuding permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini dominan disebabkan oleh guru. Kualitas pendidikan ditentukan oleh sebuah sistem yang didukung banyak bagian dari kebijakan yang cerdas dan berpihak pada rakyat, juga implementasi pendidikan yang memenuhi kualifikasi dan prasyarat yang memadai. Tentu saja Depdiknas sebagai institusi pemerintah yang diberi amanat oleh rakyat untuk mengurus pendidikan dalam sebuah sistem kurang dapat melaksanakan dengan baik, kurang amanah.
Program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru. Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards, dewan nasional standar peng cajaran profesional di Amerika Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001.
Jika program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari total pengeluaran untuk gaji pada 2005.
Angka yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan. Peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru, bukan jaminan kinerja guru akan menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan lulusan yang bermutu.
Meski tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas.
Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi, bim salabim. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang karirnya.
Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya. Semoga!
Sketsa Perjalanan Nasib Guru
Digugu lan ditiru!” Begitulah akronim yang diberikan oleh orang-orang tua kita pada zaman dulu terhadap figur seorang guru. Kata-katanya mesti dapat dipercaya, perilakunya pun dapat diteladani. Ungkapan itu menyiratkan betapa besarnya tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang guru.
Ya, tempo doeloe, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan atau padepokan yang begitu bersahaja, guru  memang benar-benar menjadi sosok yang terhormat dan bermartabat. Mereka menjadi figur anutan,  mumpuni, berwibawa, dan disegani. Apa kata sang resi menjadi “sabda” tak terbantahkan.
Institusi pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka”, tempat seorang pendidik menggembleng para cantrik agar “kader” menjadi sosok yang arif, tangguh, kaya ilmu, memiliki kepekaan sosial dan moral yang tinggi. Di mata masyarakat, kehadiran seorang guru pun begitu tinggi citranya. Bermartabat, terhormat, dan memiliki legitimasi sosial yang mengagumkan. Masyarakat benar-benar respek terhadapnya. Tidak jarang sang guru menjadi sumber informasi, sumber “sugesti”, atau sumber inspirasi masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul.
Namun, zaman telah berubah. Mengharapkan sosok guru yang  mumpuni, dan disegani seperti seorang “imam”, tampaknya terlalu berlebihan. Di hadapan siswa, kata-kata guru bukan lagi “sabda” yang mesti diturut. Bahkan, dalam banyak hal, guru harus lebih sering mengelus dada, merenungi nasibnya yang kurang beruntung. Dengan tingkat kesejahteraan yang minim, status sosial guru pun semakin tersisih di tengah-tengah masyarakat yang cenderung memberhalakan hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan.
Guru juga manusia. Punya hati dan rasa. Mereka juga butuh sandang, pangan, dan papan yang layak. Ketika semua itu belum terpenuhi, salahkah jika guru harus “membanting tulang”, mencari penghasilan tambahan? Bagaimana mungkin guru bisa mengajar sekaligus mendidik secara total dan intens kalau masih harus memilikirkan tuntutan kebutuhan hidup?
Sementara itu, pada sisi lain, masyarakat tetap menuntut agar guru tampil perfect dan sempurna bagaikan seorang bijak. Mumpuni ilmunya, terampil mengajar, sekaligus menjadi teladan bagi siswa didiknya. Dalam bahasa sekarang, guru harus benar-benar tampil profesional; sebagai agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Menyikapi kondisi semacam itu, bisa dipahami kalau pemerintah berupaya serius untuk mengembalikan ke-“saktian”-an seorang guru. UU Guru dan Dosen pun diluncurkan Desember 2005 yang lalu. Dalam UU itu, kesejahteraan guru cukup menggiurkan lantaran akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Namun, untuk memperoleh hak-hak guru semacam itu, tampaknya bukan perkara mudah. Guru harus memiliki sertifikat pendidik. Prosesnya pun cukup rumit dan berliku. Minimal harus berpendidikan D-4/S-1. Belum lagi terhitung pelaksanaan program sertifikasi yang mesti ditempuhnya.
Nah,  guru yang  terpaksa “gigit jari” ketika gagal memiliki sertifikat pendidik akibat tidak terpenuhinya unsur dan  prosedur yang baku, sejatinya tidak boleh ada dispensasi.Karena ini momen yang sangat berharga dalam mendorong lahirnya guru yang prosaesional, Bangsa ini harus bisa menunjukkan bahwa untuk jadi propessional dibutuihkan kompetensi yang komprihensip.Kecuali sertifikasi ini hanya merupakan pintru pemerintah untuk memba- bagikan kesejahteraan bagi guru.Tentu saja  itu  soal lain.  

oooooo0000oooooo


BANDINGAN MAKALAH

Atas  Paparan / Makalah

Prof.Dr.Hasan Asari Nasution,MA

&

Drs.ZULKIFLI SIMATUPANG,M.Pd

Pada seminar Pendidikan Sertifikasi dan Professionalisme Guru

Aula UMTS  Padangsidimpuan,30 Juni 2008

Oleh :

Drs.M.JUSAR NASUTION

Ketua Dewan Pendidikan

Kota Padangsidimpuan

  
Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat.
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis, dalam mengapresiasi paparan Bapak Drs.Zulkifli Simatupang,M.Pd  yang disajikan dalam bentuk power point dan Bapak Prof.DR.Hasan Asari Nasution,MA .Secara jujur kami akui bahwa paparan Bapak berdua  sangat menarik.Ditampilkan secara detail dan konprihensip, mudah dipahami dan disampaikan pula dengan bahasa yang cerdas dan komunikaitf. Untuk itulah kami ingin menmyampaikan bandingan dalam bentuk tanggapan sumbang saran dan urun rembuk, beberapa hal yaitu :
1.     Sudah barang tentu, jika ditinjau dari realitas proses sertifikasi yang dilakukan, patut i dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis melahirkan guru professional , dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu? Sebab  Makna profesionalisme guru selama ini masih dimaknai sebatas pada penyelesaian dokumen portofolio. Akibatnya, proses sertifikasi guru belum menuai hasil yang signifikan. Menutut analisa kami, jangankan mengharap pada pembentukan kematangan kompetensi pendidik dalam hal paedagogik, profesional, berkepribadian, dan sosial, untuk menuju perbaikan kualitas pengajaran saja, guru masih mengalami kesulitan.Hal tersebut diakibatkan sistem rekruitmen guru untuk masuk pada kategori tersertifikasi, hanya  (meminjam istilah domain poliitik) previkasi administratif tetapi tidak  secara konkrit memasuki wilayah previkasi faktual, yang memastikan si guru punya kompetensi yang benar dalam melakukan proses sebagai agen pembelajaran.Maka sangat mungkin mereka yang terjaring sebagai guru tersertifikasi adalah guru ahli kearsipan, ahli sulap dokumen pembelajaran  dan tukang kumpul  piagam seminar, tepai kering dari nilai-nilai sosok pendidik yang digugu dan ditiru. Untuk itu,setidaknya perlu adanya penyadaran tentang hakikat profesionalisme guru. Jika guru (dan tentu sasa Pemerintah) masih saja terjebak kepada pemaknaan yang dangkal terhadap sertifikasi, harapan menjadikan guru semakin profesional hanya menjadi angan-angan belaka  
2.     Jika  kita lihat dari  manfaat sertifikasi guru , sebagaimna ditulis  oleh Bapak Drs.Zulkifli Simatupang,M.Pd  pada power point no.9  dan Bapak Profesor  Dr.Hasan Asari Nasution,MA  pada halaman 8, salah satu diantraranya adalah Perlindungan terhadap profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten  , yang dapat merusak profesi guru.Nah pada konteks ini, jalan menuju sertifikasi, khususnya pada  persyuaratan sebagaimana Bapak-Bapak kemukakan dalam Makalah/Paparan salah satu diantaranya adalah  memiliki kualifikasi akademik.Maka dibeberapa media massa kita temukan ironi,guru memalsukan ijazah, dilain sisi banyak guru “mendadak mahasiswa” untuik mengejar secarik ijazah, tapi tidak pernah menyentuh wilayah khasanah ilmu demi mengejar kompetensi ideal sebagai guru.Ketika kita masuk pada kajianb ini maka wilayah yang terlibat pada upaya menciptakan benang merah antara sertifikasi dan profesionalisme, juga melibatkan  dunia Perguraun  Tinggi  sebagai LPTK.  Pekerjaan rumah yang tak kalah besar ialah mendidik calon guru demi menciptakan generasi guru baru yang intelek, transformatif dan profesional. Bukan sekadar tukang dan operator. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Mau tidak mau, perlu dikaji terlebih dahulu lembaga yang selama ini menghasilkan tenaga guru.
Tidak ada salahnya, lembaga pendidikan yang melahirkan tenaga guru belajar dari Fakultas Kedokteran yang mencetak tenaga dokter. Sebuah proses pembelajaran yang ajeg dan meyakinkan, semua pihak percaya dan yakin pada profesionalisme dokter (meski akhir-akhir ini banyak kasus tentang mal praktik). Setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan dokter, ia berhak atas gelar akademis sarjana kedokteran atau dahulu disebut dokter muda. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti kegiatan profesi dokter (ko-asistensi) di rumah sakit yang ditentukan, minimal dua tahun. Di sinilah kawah candradimuka untuk menjadi seorang dokter. Merupakan medan nyata (emphirical field) kerja dokter setelah proses teoritis selama manjalani pendidikan kedokteran. Setelah dinyatakan lulus ujian profesi dokter, barulah ia berhak disebut dokter (dr).
Pemeliharaan profesi dokter pun didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewajibkan dokter untuk mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di daerah yang ditentukan, atau dapat diganti dengan kompensasi tertentu yang dianggap tidak mengurangi nilai pengabdian dan profesionalisme. Demikian juga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau asosiasi profesi guru apa pun namanya, harus dapat berjuang untuk memelihara profesi guru.
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
3      [Ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian kita semua tentang uji kompetensi itu.
Pertama, perlu dievaluasi apakah para guru yang terjaring banyak di antaranya "wajah baru" di daerah masing-masing. Apakah guru-guru yang selama ini berstatus guru inti, guru berprestasi, guru kreatif,guru yang mampu mendorong inovasi siswa, guru yang rajin menulis karya ilmiah, pengelola MGMP di daerah tidak terjaring.Kaualau jawabannya tidak,persoalannya  dimana ?
Di  sisi lain apakah mereka yang tersertifikasi memiliki kemampuan merata baik dalam penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi pendidikan, maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji kompetensi.
Namun, di sisi lain timbul pertanyaan, benarkan mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji kompetensi itu?
Kedua. Ada beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini tidak sesuai latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya kualifikasi akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa terjaring dalam kelompok mata pelajaran Sejarah.
Pendidikan profesi guru harus mampu menjawab problem spesifik keguruan. Persoalan kronis keguruan kita, seperti dituturkan Beeby (1975), adalah “praktik kelas” yang membosankan. Guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas pada buku teks yang dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya dari apa yang pernah dipelajarinya dulu di sekolah.
Setelah menguraikan sesuatu masalah, mereka menghabiskan bagian terbesar jam pelajarannya untuk mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan tulis dan menunggu murid menyalinnya. Catatan itulah yang dipelajari murid dan menjadi bahan ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid, dan pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakatnya.
Pentingnya mempersoalkan penampilan dan kemampuan guru karena merekalah tokoh utama yang mengantar proses pencapaian hierarkis tujuan instruksional ke tujuan pendidikan nasional. Penampilan seorang guru di dalam praktik kelas ditentukan oleh konsep yang dimilikinya tentang pembelajaran.
Pilihan metode bukan sekadar persoalan penyesuaian teknis terhadap topik yang akan disampaikan, melainkan berakar pada cara pandang terhadap manusia (anak) dan bagaimana cara mereka berkebudayaan. Apabila seorang guru memandang anak sebagai makhluk “kosong” dan berkembang secara mekanis, maka ia cenderung memilih mengajar dengan pendekatan pedagogis dengan metode menuang air ke dalam botol (banking system).
Sebaliknya, jika anak dianggap sebagai ciptaan yang berpotensi dan berkembang dinamis, maka yang dipergunakan pendekatan andragogis dengan model pembelajaran dialogis. Tetapi, di Indonesia, kebanyakan guru tidak memiliki pandangan apa-apa tentang anak sehingga yang terjadi adalah “ritual” pembelajaran tanpa kerangka dan jiwa.
Dewasa ini, metodologi pembelajaran mengalami perkembangan sangat pesat. Kemajuan di dalam psikologi kognitif dan psikologi belajar yang ditopang oleh perkembangan teknologi informasi telah mendorong dipergunakannya konsep- konsep baru dalam model pembelajaran.
Misalnya, perubahan konsep mengajar (teaching) menjadi pembelajaran (learning), perluasan definisi kecerdasan dari yang cenderung kognitif ditandai IQ (intelligence quotion) kini berkembang menjadi kecerdasan emosional (emotional quotion/ EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotion/SQ), serta kecerdasan majemuk (multiple intelligence).
Di dalam model pembelajaran pun istilah-istilah baru bermunculan, seperti learning revolution, accelerated learning, quantum learning/teaching. Sayangnya, perkembangan ini belum menyentuh kelas-kelas sekolah kita. Maka, salah satu peran penting pendidikan profesi guru adalah menjembatani kesenjangan ini.


  
Pemerintah secara resmi telah mencanangkan bahwa profesi guru disejajarkan dengan profesi lainnya sebagai tenaga profesional. Dengan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan karena guru sebagai agen pembelajaran merupakan ujung tombak peningkatan proses pembelajaran di dalam kelas yang akan berujung pada peningkatan mutu pendidikan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sebuah sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui uji sertifikasi. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan sebagai guru profesional.
Gagasan utama di balik pendidikan profesi guru adalah peningkatan mutu dan pembaruan pendidikan nasional. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru.
Maka, program sertifikasi seharusnya tidak dipandang sekadar legalisasi untuk memperoleh tunjangan profesi, tetapi lebih sebagai upaya meningkatkan kompetensi melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru diyakini tidak secara otomatis menjadi baik dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengubah motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam bentuk pendidikan profesi.
Guru sebagai profesi
Pendidikan profesi guru mengasumsikan bahwa model penyiapan tenaga kependidikan yang diandalkan selama ini sudah tidak memadai lagi sehingga memerlukan pembaruan. Program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus secara nyata menunjukkan langkah-langkah kemajuan dalam peran guru sebagai sebuah profesi.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah guru profesional macam apakah yang hendak “dicetak” lewat pendidikan profesi dengan 36-an SKS tersebut? Apakah guru-guru dipersiapkan untuk mengantar murid-murid lulus ujian nasional ataukah mereka dipersiapkan untuk mengembangkan potensi murid menjadi good citizen, dan insan paripurna? Di manakah perbedaan mereka dengan guru-guru yang ada sekarang atau dengan diri mereka sendiri sebelum memasuki “salon” profesionalisme itu?
Ketika persoalan ini tidak cukup terang, maka pendidikan profesi guru patut menimbulkan keraguan dan pesimisme karena tidak menawarkan sesuatu yang baru dan tangible kecuali selembar kertas bernama sertifikat.
Guru yang dinamis
Pendidikan profesi guru harusnya dirancang berbeda dengan model pembelajaran di Akta IV, S1, dan S2 keguruan. Pendidikan profesi guru bukan menghasilkan saintis pendidikan dan keguruan, melainkan mendidik seseorang siap dan mahir menjalankan profesinya, seperti pendidikan kepaniteraan (coass) dokter yang siap menangani pasien setamat dari pendidikannya.
Sehubungan dengan waktu yang relatif singkat, maka kompetensi pedagogi, profesional, sosial, dan personal seperti tersebut di dalam UU Guru dan Dosen harus diterjemahkan secara obyektif-terukur dan disampaikan secara praktikal. Apabila guru yang ingin dihasilkan adalah guru dinamis yang dapat mengatasi problem klasik praktik kelas, beberapa usulan dapat dipertimbangkan dalam merancang kurikulum pendidikan profesi guru sebagai berikut.
Pertama, pada masa awal pendidikan diperlukan adanya semacam pelatihan penyadaran profesi yang bertujuan membangun paradigma baru dan ideologi pendidikan serta kebanggaan profesi. Pilihan profesi harus diberikan fondasi filosofis yang terhubung dengan eksistensi dan misi hidupnya. Korelasi ini akan melahirkan motivasi dan energi besar bagi guru dalam menjalankan tugasnya.
Kedua, pembelajaran di kelas disusun tidak berdasarkan pada subject matter (mata pelajaran), tetapi disusun per topik sesuai target sasaran yang diinginkan. Ini penting untuk menghindarkan pendekatan “sistematika-akademis” yang cenderung membahas banyak hal yang kurang signifikan.
Ketiga, pendekatan dan metode yang dipergunakan selama masa pendidikan profesi guru hendaknya merepresentasikan pembelajaran efektif dan partisipatif. Selama pendidikan, guru tidak hanya diperkenalkan pada berbagai metode, tapi sebanyak mungkin mengalami keterlibatan dalam penerapannya. Kegagalan dalam mengajarkan pendekatan dan metode-metode seperti ini sering disebabkan penyampaiannya dengan ceramah.
Keempat, pemagangan dan riset tindakan (action research) haruslah menjadi bagian terbesar dan terpenting dari aktivitas pendidikan profesi guru. Aktivitas ini adalah upaya memberikan keterampilan menemukan, menganalisis, dan memecahkan problem-problem praktik kelas.
Semua program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus dibingkai oleh filosofi mutu dan pembaruan pendidikan. Kurikulumnya harus terukur, menawarkan sesuatu yang baru dan perlu.
Potret Realitas  Guru

Terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan ini disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional, guru yang kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebagai contoh, kasus yang dikemukakan pakar Administrasi Pendidikan UPI Bandung Prof Nanang Fatah, yaitu pada uji kompetensi Matematika. Dari 40 pertanyaan, rata-rata hanya dua pertanyaan yang dijawab dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Penggambaran keadaan itu merupakan fakta yang bukan sepenuhnya merupakan kesalahan guru sebagai individu. Karena, rasanya kurang adil dan tidak bijak kita terus menuding permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini dominan disebabkan oleh guru. Kualitas pendidikan ditentukan oleh sebuah sistem yang didukung banyak bagian dari kebijakan yang cerdas dan berpihak pada rakyat, juga implementasi pendidikan yang memenuhi kualifikasi dan prasyarat yang memadai. Tentu saja Depdiknas sebagai institusi pemerintah yang diberi amanat oleh rakyat untuk mengurus pendidikan dalam sebuah sistem kurang dapat melaksanakan dengan baik, kurang amanah.
Program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru. Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards, dewan nasional standar peng cajaran profesional di Amerika Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001.
Jika program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari total pengeluaran untuk gaji pada 2005.
Angka yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan. Peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru, bukan jaminan kinerja guru akan menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan lulusan yang bermutu.
Meski tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas.
Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi, bim salabim. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang karirnya.
Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya. Semoga!
Sketsa Perjalanan Nasib Guru
Digugu lan ditiru!” Begitulah akronim yang diberikan oleh orang-orang tua kita pada zaman dulu terhadap figur seorang guru. Kata-katanya mesti dapat dipercaya, perilakunya pun dapat diteladani. Ungkapan itu menyiratkan betapa besarnya tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang guru.
Ya, tempo doeloe, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan atau padepokan yang begitu bersahaja, guru  memang benar-benar menjadi sosok yang terhormat dan bermartabat. Mereka menjadi figur anutan,  mumpuni, berwibawa, dan disegani. Apa kata sang resi menjadi “sabda” tak terbantahkan.
Institusi pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka”, tempat seorang pendidik menggembleng para cantrik agar “kader” menjadi sosok yang arif, tangguh, kaya ilmu, memiliki kepekaan sosial dan moral yang tinggi. Di mata masyarakat, kehadiran seorang guru pun begitu tinggi citranya. Bermartabat, terhormat, dan memiliki legitimasi sosial yang mengagumkan. Masyarakat benar-benar respek terhadapnya. Tidak jarang sang guru menjadi sumber informasi, sumber “sugesti”, atau sumber inspirasi masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul.
Namun, zaman telah berubah. Mengharapkan sosok guru yang  mumpuni, dan disegani seperti seorang “imam”, tampaknya terlalu berlebihan. Di hadapan siswa, kata-kata guru bukan lagi “sabda” yang mesti diturut. Bahkan, dalam banyak hal, guru harus lebih sering mengelus dada, merenungi nasibnya yang kurang beruntung. Dengan tingkat kesejahteraan yang minim, status sosial guru pun semakin tersisih di tengah-tengah masyarakat yang cenderung memberhalakan hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan.
Guru juga manusia. Punya hati dan rasa. Mereka juga butuh sandang, pangan, dan papan yang layak. Ketika semua itu belum terpenuhi, salahkah jika guru harus “membanting tulang”, mencari penghasilan tambahan? Bagaimana mungkin guru bisa mengajar sekaligus mendidik secara total dan intens kalau masih harus memilikirkan tuntutan kebutuhan hidup?
Sementara itu, pada sisi lain, masyarakat tetap menuntut agar guru tampil perfect dan sempurna bagaikan seorang bijak. Mumpuni ilmunya, terampil mengajar, sekaligus menjadi teladan bagi siswa didiknya. Dalam bahasa sekarang, guru harus benar-benar tampil profesional; sebagai agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Menyikapi kondisi semacam itu, bisa dipahami kalau pemerintah berupaya serius untuk mengembalikan ke-“saktian”-an seorang guru. UU Guru dan Dosen pun diluncurkan Desember 2005 yang lalu. Dalam UU itu, kesejahteraan guru cukup menggiurkan lantaran akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Namun, untuk memperoleh hak-hak guru semacam itu, tampaknya bukan perkara mudah. Guru harus memiliki sertifikat pendidik. Prosesnya pun cukup rumit dan berliku. Minimal harus berpendidikan D-4/S-1. Belum lagi terhitung pelaksanaan program sertifikasi yang mesti ditempuhnya.
Nah,  guru yang  terpaksa “gigit jari” ketika gagal memiliki sertifikat pendidik akibat tidak terpenuhinya unsur dan  prosedur yang baku, sejatinya tidak boleh ada dispensasi.Karena ini momen yang sangat berharga dalam mendorong lahirnya guru yang prosaesional, Bangsa ini harus bisa menunjukkan bahwa untuk jadi propessional dibutuihkan kompetensi yang komprihensip.Kecuali sertifikasi ini hanya merupakan pintru pemerintah untuk memba- bagikan kesejahteraan bagi guru.Tentu saja  itu  soal lain.  

oooooo0000oooooo