Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage
berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk
mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah
perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa
bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa
yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage
berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan
guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan
bermartabat.
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis, dalam mengapresiasi paparan Bapak Drs.Zulkifli Simatupang,M.Pd yang disajikan dalam bentuk power point dan Bapak Prof.DR.Hasan Asari Nasution,MA .Secara jujur kami akui bahwa paparan Bapak berdua sangat
menarik.Ditampilkan secara detail dan konprihensip, mudah dipahami dan
disampaikan pula dengan bahasa yang cerdas dan komunikaitf. Untuk itulah
kami ingin menmyampaikan bandingan dalam bentuk tanggapan sumbang saran
dan urun rembuk, beberapa hal yaitu :
1. Sudah
barang tentu, jika ditinjau dari realitas proses sertifikasi yang
dilakukan, patut i dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis
melahirkan guru professional , dan kemudian akan meningkatkan mutu
pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan
lebih bermutu? Sebab Makna
profesionalisme guru selama ini masih dimaknai sebatas pada
penyelesaian dokumen portofolio. Akibatnya, proses sertifikasi guru
belum menuai hasil yang signifikan. Menutut analisa kami, jangankan
mengharap pada pembentukan kematangan kompetensi pendidik dalam hal
paedagogik, profesional, berkepribadian, dan sosial, untuk menuju
perbaikan kualitas pengajaran saja, guru masih mengalami kesulitan.Hal
tersebut diakibatkan sistem rekruitmen guru untuk masuk pada kategori
tersertifikasi, hanya (meminjam istilah domain poliitik) previkasi administratif tetapi tidak secara
konkrit memasuki wilayah previkasi faktual, yang memastikan si guru
punya kompetensi yang benar dalam melakukan proses sebagai agen
pembelajaran.Maka sangat mungkin mereka yang terjaring sebagai guru
tersertifikasi adalah guru ahli kearsipan, ahli sulap dokumen
pembelajaran dan tukang kumpul piagam
seminar, tepai kering dari nilai-nilai sosok pendidik yang digugu dan
ditiru. Untuk itu,setidaknya perlu adanya penyadaran tentang hakikat
profesionalisme guru. Jika guru (dan tentu sasa Pemerintah)
masih saja terjebak kepada pemaknaan yang dangkal terhadap sertifikasi,
harapan menjadikan guru semakin profesional hanya menjadi angan-angan
belaka
2. Jika kita lihat dari manfaat sertifikasi guru , sebagaimna ditulis oleh Bapak Drs.Zulkifli Simatupang,M.Pd pada power point no.9 dan Bapak Profesor Dr.Hasan Asari Nasution,MA pada halaman 8, salah satu diantraranya adalah Perlindungan terhadap profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten , yang dapat merusak profesi guru.Nah pada konteks ini, jalan menuju sertifikasi, khususnya pada persyuaratan sebagaimana Bapak-Bapak kemukakan dalam Makalah/Paparan salah satu diantaranya adalah memiliki
kualifikasi akademik.Maka dibeberapa media massa kita temukan
ironi,guru memalsukan ijazah, dilain sisi banyak guru “mendadak
mahasiswa” untuik mengejar secarik ijazah, tapi tidak pernah menyentuh
wilayah khasanah ilmu demi mengejar kompetensi ideal sebagai guru.Ketika
kita masuk pada kajianb ini maka wilayah yang terlibat pada upaya
menciptakan benang merah antara sertifikasi dan profesionalisme, juga
melibatkan dunia Perguraun Tinggi sebagai LPTK. Pekerjaan
rumah yang tak kalah besar ialah mendidik calon guru demi menciptakan
generasi guru baru yang intelek, transformatif dan profesional. Bukan
sekadar tukang dan operator. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi
lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Mau tidak mau, perlu
dikaji terlebih dahulu lembaga yang selama ini menghasilkan tenaga guru.
Tidak
ada salahnya, lembaga pendidikan yang melahirkan tenaga guru belajar
dari Fakultas Kedokteran yang mencetak tenaga dokter. Sebuah proses
pembelajaran yang ajeg dan meyakinkan, semua pihak percaya dan yakin
pada profesionalisme dokter (meski akhir-akhir ini banyak kasus tentang mal praktik).
Setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan dokter, ia berhak atas gelar
akademis sarjana kedokteran atau dahulu disebut dokter muda. Kemudian
dilanjutkan dengan mengikuti kegiatan profesi dokter (ko-asistensi) di
rumah sakit yang ditentukan, minimal dua tahun. Di sinilah kawah
candradimuka untuk menjadi seorang dokter. Merupakan medan nyata (emphirical field)
kerja dokter setelah proses teoritis selama manjalani pendidikan
kedokteran. Setelah dinyatakan lulus ujian profesi dokter, barulah ia
berhak disebut dokter (dr).
Pemeliharaan
profesi dokter pun didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang
mewajibkan dokter untuk mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di
daerah yang ditentukan, atau dapat diganti dengan kompensasi tertentu
yang dianggap tidak mengurangi nilai pengabdian dan profesionalisme.
Demikian juga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau asosiasi
profesi guru apa pun namanya, harus dapat berjuang untuk memelihara
profesi guru.
Guru
profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya
adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik
untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana
seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan
peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari
jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan
menyalahkannya.
3 Ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian kita semua tentang uji kompetensi itu.
Pertama,
perlu dievaluasi apakah para guru yang terjaring banyak di antaranya
"wajah baru" di daerah masing-masing. Apakah guru-guru yang selama ini
berstatus guru inti, guru berprestasi, guru kreatif,guru yang mampu
mendorong inovasi siswa, guru yang rajin menulis karya ilmiah, pengelola
MGMP di daerah tidak terjaring.Kaualau jawabannya tidak,persoalannya dimana ?
Di sisi
lain apakah mereka yang tersertifikasi memiliki kemampuan merata baik
dalam penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi
pendidikan, maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji
kompetensi.
Namun, di sisi lain timbul pertanyaan, benarkan mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji kompetensi itu?
Kedua. Ada
beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini tidak sesuai
latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya
kualifikasi akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa
terjaring dalam kelompok mata pelajaran Sejarah.
Pendidikan
profesi guru harus mampu menjawab problem spesifik keguruan. Persoalan
kronis keguruan kita, seperti dituturkan Beeby (1975), adalah “praktik
kelas” yang membosankan. Guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar
belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas
pada buku teks yang dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa
ingatannya dari apa yang pernah dipelajarinya dulu di sekolah.
Setelah
menguraikan sesuatu masalah, mereka menghabiskan bagian terbesar jam
pelajarannya untuk mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di
papan tulis dan menunggu murid menyalinnya. Catatan itulah yang
dipelajari murid dan menjadi bahan ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia
membantu menumbuhkan potensi seorang murid, dan pengaruh sekolah yang
menjemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang
menjadi dewasa dan memimpin masyarakatnya.
Pentingnya
mempersoalkan penampilan dan kemampuan guru karena merekalah tokoh
utama yang mengantar proses pencapaian hierarkis tujuan instruksional ke
tujuan pendidikan nasional. Penampilan seorang guru di dalam praktik
kelas ditentukan oleh konsep yang dimilikinya tentang pembelajaran.
Pilihan
metode bukan sekadar persoalan penyesuaian teknis terhadap topik yang
akan disampaikan, melainkan berakar pada cara pandang terhadap manusia
(anak) dan bagaimana cara mereka berkebudayaan. Apabila seorang guru
memandang anak sebagai makhluk “kosong” dan berkembang secara mekanis,
maka ia cenderung memilih mengajar dengan pendekatan pedagogis dengan
metode menuang air ke dalam botol (banking system).
Sebaliknya,
jika anak dianggap sebagai ciptaan yang berpotensi dan berkembang
dinamis, maka yang dipergunakan pendekatan andragogis dengan model
pembelajaran dialogis. Tetapi, di Indonesia, kebanyakan guru tidak
memiliki pandangan apa-apa tentang anak sehingga yang terjadi adalah
“ritual” pembelajaran tanpa kerangka dan jiwa.
Dewasa
ini, metodologi pembelajaran mengalami perkembangan sangat pesat.
Kemajuan di dalam psikologi kognitif dan psikologi belajar yang ditopang
oleh perkembangan teknologi informasi telah mendorong dipergunakannya
konsep- konsep baru dalam model pembelajaran.
Misalnya,
perubahan konsep mengajar (teaching) menjadi pembelajaran (learning),
perluasan definisi kecerdasan dari yang cenderung kognitif ditandai IQ
(intelligence quotion) kini berkembang menjadi kecerdasan emosional
(emotional quotion/ EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotion/SQ),
serta kecerdasan majemuk (multiple intelligence).
Di
dalam model pembelajaran pun istilah-istilah baru bermunculan, seperti
learning revolution, accelerated learning, quantum learning/teaching.
Sayangnya, perkembangan ini belum menyentuh kelas-kelas sekolah kita.
Maka, salah satu peran penting pendidikan profesi guru adalah
menjembatani kesenjangan ini.
Pemerintah secara resmi telah mencanangkan bahwa profesi guru disejajarkan dengan profesi lainnya sebagai tenaga profesional. Dengan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan karena guru sebagai agen pembelajaran merupakan ujung tombak peningkatan proses pembelajaran di dalam kelas yang akan berujung pada peningkatan mutu pendidikan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sebuah sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui uji sertifikasi. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan sebagai guru profesional.
Gagasan utama di balik pendidikan profesi guru adalah peningkatan mutu dan pembaruan pendidikan nasional. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru.
Maka, program sertifikasi seharusnya tidak dipandang sekadar legalisasi untuk memperoleh tunjangan profesi, tetapi lebih sebagai upaya meningkatkan kompetensi melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru diyakini tidak secara otomatis menjadi baik dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengubah motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam bentuk pendidikan profesi.
Guru sebagai profesi
Pendidikan
profesi guru mengasumsikan bahwa model penyiapan tenaga kependidikan
yang diandalkan selama ini sudah tidak memadai lagi sehingga memerlukan
pembaruan. Program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus secara
nyata menunjukkan langkah-langkah kemajuan dalam peran guru sebagai
sebuah profesi.
Pertanyaan
mendasar yang perlu dijawab adalah guru profesional macam apakah yang
hendak “dicetak” lewat pendidikan profesi dengan 36-an SKS tersebut?
Apakah guru-guru dipersiapkan untuk mengantar murid-murid lulus ujian
nasional ataukah mereka dipersiapkan untuk mengembangkan potensi murid
menjadi good citizen, dan insan paripurna? Di manakah perbedaan mereka
dengan guru-guru yang ada sekarang atau dengan diri mereka sendiri
sebelum memasuki “salon” profesionalisme itu?
Ketika
persoalan ini tidak cukup terang, maka pendidikan profesi guru patut
menimbulkan keraguan dan pesimisme karena tidak menawarkan sesuatu yang
baru dan tangible kecuali selembar kertas bernama sertifikat.
Guru yang dinamis
Pendidikan
profesi guru harusnya dirancang berbeda dengan model pembelajaran di
Akta IV, S1, dan S2 keguruan. Pendidikan profesi guru bukan menghasilkan
saintis pendidikan dan keguruan, melainkan mendidik seseorang siap dan
mahir menjalankan profesinya, seperti pendidikan kepaniteraan (coass)
dokter yang siap menangani pasien setamat dari pendidikannya.
Sehubungan dengan waktu yang relatif singkat, maka kompetensi pedagogi, profesional, sosial, dan personal seperti tersebut di dalam UU Guru dan Dosen harus diterjemahkan secara obyektif-terukur dan disampaikan secara praktikal. Apabila guru yang ingin dihasilkan adalah guru dinamis yang dapat mengatasi problem klasik praktik kelas, beberapa usulan dapat dipertimbangkan dalam merancang kurikulum pendidikan profesi guru sebagai berikut.
Pertama, pada masa awal pendidikan diperlukan adanya semacam pelatihan penyadaran profesi yang bertujuan membangun paradigma baru dan ideologi pendidikan serta kebanggaan profesi. Pilihan profesi harus diberikan fondasi filosofis yang terhubung dengan eksistensi dan misi hidupnya. Korelasi ini akan melahirkan motivasi dan energi besar bagi guru dalam menjalankan tugasnya.
Kedua, pembelajaran di kelas disusun tidak berdasarkan pada subject matter (mata pelajaran), tetapi disusun per topik sesuai target sasaran yang diinginkan. Ini penting untuk menghindarkan pendekatan “sistematika-akademis” yang cenderung membahas banyak hal yang kurang signifikan.
Ketiga, pendekatan dan metode yang dipergunakan selama masa pendidikan profesi guru hendaknya merepresentasikan pembelajaran efektif dan partisipatif. Selama pendidikan, guru tidak hanya diperkenalkan pada berbagai metode, tapi sebanyak mungkin mengalami keterlibatan dalam penerapannya. Kegagalan dalam mengajarkan pendekatan dan metode-metode seperti ini sering disebabkan penyampaiannya dengan ceramah.
Keempat, pemagangan dan riset tindakan (action research) haruslah menjadi bagian terbesar dan terpenting dari aktivitas pendidikan profesi guru. Aktivitas ini adalah upaya memberikan keterampilan menemukan, menganalisis, dan memecahkan problem-problem praktik kelas.
Semua
program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus dibingkai oleh
filosofi mutu dan pembaruan pendidikan. Kurikulumnya harus terukur,
menawarkan sesuatu yang baru dan perlu.
Potret Realitas Guru
Terdapat
hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak
mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar
di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat
kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak
mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru
SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan
ini disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional, guru yang
kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebagai contoh, kasus yang dikemukakan pakar Administrasi Pendidikan UPI Bandung Prof Nanang Fatah, yaitu pada uji kompetensi Matematika. Dari 40 pertanyaan, rata-rata hanya dua pertanyaan yang dijawab dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Penggambaran keadaan itu merupakan fakta yang bukan sepenuhnya merupakan kesalahan guru sebagai individu. Karena, rasanya kurang adil dan tidak bijak kita terus menuding permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini dominan disebabkan oleh guru. Kualitas pendidikan ditentukan oleh sebuah sistem yang didukung banyak bagian dari kebijakan yang cerdas dan berpihak pada rakyat, juga implementasi pendidikan yang memenuhi kualifikasi dan prasyarat yang memadai. Tentu saja Depdiknas sebagai institusi pemerintah yang diberi amanat oleh rakyat untuk mengurus pendidikan dalam sebuah sistem kurang dapat melaksanakan dengan baik, kurang amanah.
Program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru. Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards, dewan nasional standar peng cajaran profesional di Amerika Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001.
Jika program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari total pengeluaran untuk gaji pada 2005.
Angka yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan. Peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru, bukan jaminan kinerja guru akan menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan lulusan yang bermutu.
Meski
tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi
setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya
menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih
dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru
menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh
guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau
didapat melalui jalan pintas.
Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi, bim salabim. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang karirnya.
Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya. Semoga!
Sketsa Perjalanan Nasib Guru
Digugu
lan ditiru!” Begitulah akronim yang diberikan oleh orang-orang tua kita
pada zaman dulu terhadap figur seorang guru. Kata-katanya mesti dapat
dipercaya, perilakunya pun dapat diteladani. Ungkapan itu menyiratkan
betapa besarnya tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang guru.
Ya, tempo doeloe, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan atau padepokan yang begitu bersahaja, guru memang benar-benar menjadi sosok yang terhormat dan bermartabat. Mereka menjadi figur anutan, mumpuni, berwibawa, dan disegani. Apa kata sang resi menjadi “sabda” tak terbantahkan.
Ya, tempo doeloe, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan atau padepokan yang begitu bersahaja, guru memang benar-benar menjadi sosok yang terhormat dan bermartabat. Mereka menjadi figur anutan, mumpuni, berwibawa, dan disegani. Apa kata sang resi menjadi “sabda” tak terbantahkan.
Institusi
pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka”, tempat seorang pendidik
menggembleng para cantrik agar “kader” menjadi sosok yang arif, tangguh,
kaya ilmu, memiliki kepekaan sosial dan moral yang tinggi. Di mata
masyarakat, kehadiran seorang guru pun begitu tinggi citranya.
Bermartabat, terhormat, dan memiliki legitimasi sosial yang mengagumkan.
Masyarakat benar-benar respek terhadapnya. Tidak jarang sang guru
menjadi sumber informasi, sumber “sugesti”, atau sumber inspirasi
masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul.
Namun, zaman telah berubah. Mengharapkan sosok guru yang mumpuni, dan disegani seperti seorang “imam”, tampaknya terlalu berlebihan. Di hadapan siswa, kata-kata guru bukan lagi “sabda” yang mesti diturut. Bahkan, dalam banyak hal, guru harus lebih sering mengelus dada, merenungi nasibnya yang kurang beruntung. Dengan tingkat kesejahteraan yang minim, status sosial guru pun semakin tersisih di tengah-tengah masyarakat yang cenderung memberhalakan hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan.
Guru juga manusia. Punya hati dan rasa. Mereka juga butuh sandang, pangan, dan papan yang layak. Ketika semua itu belum terpenuhi, salahkah jika guru harus “membanting tulang”, mencari penghasilan tambahan? Bagaimana mungkin guru bisa mengajar sekaligus mendidik secara total dan intens kalau masih harus memilikirkan tuntutan kebutuhan hidup?
Sementara itu, pada sisi lain, masyarakat tetap menuntut agar guru tampil perfect dan sempurna bagaikan seorang bijak. Mumpuni ilmunya, terampil mengajar, sekaligus menjadi teladan bagi siswa didiknya. Dalam bahasa sekarang, guru harus benar-benar tampil profesional; sebagai agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Menyikapi kondisi semacam itu, bisa dipahami kalau pemerintah berupaya serius untuk mengembalikan ke-“saktian”-an seorang guru. UU Guru dan Dosen pun diluncurkan Desember 2005 yang lalu. Dalam UU itu, kesejahteraan guru cukup menggiurkan lantaran akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Namun, untuk memperoleh hak-hak guru semacam itu, tampaknya bukan perkara mudah. Guru harus memiliki sertifikat pendidik. Prosesnya pun cukup rumit dan berliku. Minimal harus berpendidikan D-4/S-1. Belum lagi terhitung pelaksanaan program sertifikasi yang mesti ditempuhnya.
Nah, guru yang terpaksa “gigit jari” ketika gagal memiliki sertifikat pendidik akibat tidak terpenuhinya unsur dan prosedur yang baku, sejatinya tidak boleh ada dispensasi.Karena ini momen yang sangat berharga dalam mendorong lahirnya guru yang prosaesional, Bangsa ini harus bisa menunjukkan bahwa untuk jadi propessional dibutuihkan kompetensi yang komprihensip.Kecuali sertifikasi ini hanya merupakan pintru pemerintah untuk memba- bagikan kesejahteraan bagi guru.Tentu saja itu soal lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar