BANDINGAN MAKALAH
Atas Paparan / Makalah
Prof.Dr.Hasan Asari Nasution ,MA
&
Drs.ZULKIFLI
SIMATUPANG,M.Pd
Pada seminar Pendidikan Sertifikasi
dan Professionalisme Guru
Aula UMTS Padangsidimpuan,30 Juni 2008
Oleh :
Drs.M.JUSAR
NASUTION
Ketua
Dewan Pendidikan
Kota Padangsidimpuan
Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan
kaitan kebelakang (Backward
linkage). Forward
linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama
untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah
perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa
yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki
sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward
linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada
keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan
bermartabat.
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang
merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi
guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan
memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak
mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD
juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya
peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya
adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan
kesejahteraan mereka.
Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis, dalam
mengapresiasi paparan Bapak Drs.Zulkifli
Simatupang,M.Pd yang disajikan dalam
bentuk power point dan Bapak Prof.DR.Hasan Asari Nasution,MA .Secara
jujur kami akui bahwa paparan Bapak berdua sangat menarik.Ditampilkan secara detail dan
konprihensip, mudah dipahami dan disampaikan pula dengan bahasa yang cerdas dan
komunikaitf. Untuk itulah kami ingin menmyampaikan bandingan dalam bentuk
tanggapan sumbang saran dan urun rembuk, beberapa hal yaitu :
1.
Sudah barang
tentu, jika ditinjau dari realitas proses sertifikasi yang dilakukan, patut i
dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis melahirkan guru
professional , dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan
bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu? Sebab Makna
profesionalisme guru selama ini masih dimaknai sebatas pada penyelesaian
dokumen portofolio. Akibatnya, proses sertifikasi guru belum menuai hasil yang
signifikan. Menutut analisa kami, jangankan mengharap pada pembentukan
kematangan kompetensi pendidik dalam hal paedagogik, profesional,
berkepribadian, dan sosial, untuk menuju perbaikan kualitas pengajaran saja,
guru masih mengalami kesulitan.Hal tersebut diakibatkan sistem rekruitmen guru
untuk masuk pada kategori tersertifikasi, hanya
(meminjam istilah domain poliitik) previkasi administratif tetapi
tidak secara konkrit memasuki wilayah
previkasi faktual, yang memastikan si guru punya kompetensi yang benar dalam
melakukan proses sebagai agen pembelajaran.Maka sangat mungkin mereka yang
terjaring sebagai guru tersertifikasi adalah guru ahli kearsipan, ahli sulap
dokumen pembelajaran dan tukang
kumpul piagam seminar, tepai kering dari
nilai-nilai sosok pendidik yang digugu dan ditiru. Untuk itu,setidaknya perlu
adanya penyadaran tentang hakikat profesionalisme guru. Jika guru (dan tentu sasa Pemerintah) masih saja terjebak kepada pemaknaan yang dangkal
terhadap sertifikasi, harapan menjadikan guru semakin profesional hanya menjadi
angan-angan belaka
2.
Jika kita lihat dari manfaat sertifikasi guru , sebagaimna
ditulis oleh Bapak Drs.Zulkifli
Simatupang,M.Pd pada power point
no.9 dan Bapak Profesor Dr.Hasan Asari Nasution,MA pada halaman 8, salah satu diantraranya
adalah Perlindungan terhadap profesi guru dari praktik-praktik yang tidak
kompeten , yang dapat merusak profesi
guru.Nah pada konteks ini, jalan menuju sertifikasi, khususnya pada persyuaratan sebagaimana Bapak-Bapak
kemukakan dalam Makalah/Paparan salah satu diantaranya adalah memiliki kualifikasi akademik.Maka dibeberapa
media massa kita temukan ironi,guru memalsukan ijazah, dilain sisi banyak guru
“mendadak mahasiswa” untuik mengejar secarik ijazah, tapi tidak pernah
menyentuh wilayah khasanah ilmu demi mengejar kompetensi ideal sebagai guru.Ketika
kita masuk pada kajianb ini maka wilayah yang terlibat pada upaya menciptakan
benang merah antara sertifikasi dan profesionalisme, juga melibatkan dunia Perguraun Tinggi
sebagai LPTK. Pekerjaan rumah yang tak kalah besar ialah mendidik
calon guru demi menciptakan generasi guru baru yang intelek, transformatif dan
profesional. Bukan sekadar tukang dan operator. Hal ini tentu menjadi tantangan
bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Mau tidak mau, perlu dikaji
terlebih dahulu lembaga yang selama ini menghasilkan tenaga guru.
Tidak ada salahnya, lembaga pendidikan yang
melahirkan tenaga guru belajar dari Fakultas Kedokteran yang mencetak tenaga
dokter. Sebuah proses pembelajaran yang ajeg dan meyakinkan, semua pihak
percaya dan yakin pada profesionalisme dokter (meski akhir-akhir ini banyak kasus tentang mal praktik). Setelah
mahasiswa menyelesaikan pendidikan dokter, ia berhak atas gelar akademis
sarjana kedokteran atau dahulu disebut dokter muda. Kemudian dilanjutkan dengan
mengikuti kegiatan profesi dokter (ko-asistensi) di rumah sakit yang
ditentukan, minimal dua tahun. Di sinilah kawah candradimuka untuk menjadi
seorang dokter. Merupakan medan
nyata (emphirical field) kerja dokter setelah proses teoritis
selama manjalani pendidikan kedokteran. Setelah dinyatakan lulus ujian profesi
dokter, barulah ia berhak disebut dokter (dr).
Pemeliharaan profesi dokter pun didukung oleh
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewajibkan dokter untuk mengabdi sebagai
Pegawai Tidak Tetap (PTT) di daerah yang ditentukan, atau dapat diganti dengan
kompensasi tertentu yang dianggap tidak mengurangi nilai pengabdian dan
profesionalisme. Demikian juga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau
asosiasi profesi guru apa pun namanya, harus dapat berjuang untuk memelihara
profesi guru.
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang
dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta
didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana
seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta
didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar
bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
3
[Ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat
perhatian kita semua tentang uji kompetensi itu.
Pertama, perlu dievaluasi apakah para guru yang
terjaring banyak di antaranya "wajah baru" di daerah masing-masing. Apakah
guru-guru yang selama ini berstatus guru inti, guru berprestasi, guru kreatif,guru
yang mampu mendorong inovasi siswa, guru yang rajin menulis karya ilmiah,
pengelola MGMP di daerah tidak terjaring.Kaualau jawabannya
tidak,persoalannya dimana ?
Di sisi lain
apakah mereka yang tersertifikasi memiliki kemampuan merata baik dalam
penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi pendidikan,
maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji kompetensi.
Namun, di sisi lain timbul pertanyaan, benarkan
mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji kompetensi itu?
Kedua. Ada
beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini tidak sesuai latar
belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya kualifikasi
akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa terjaring dalam kelompok mata
pelajaran Sejarah.
Pendidikan
profesi guru harus mampu menjawab problem spesifik keguruan. Persoalan kronis
keguruan kita, seperti dituturkan Beeby (1975), adalah “praktik kelas” yang
membosankan. Guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan
dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas pada buku teks yang
dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya dari apa yang pernah
dipelajarinya dulu di sekolah.
Setelah
menguraikan sesuatu masalah, mereka menghabiskan bagian terbesar jam
pelajarannya untuk mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan
tulis dan menunggu murid menyalinnya. Catatan itulah yang dipelajari murid dan
menjadi bahan ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan
potensi seorang murid, dan pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak
imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin
masyarakatnya.
Pentingnya
mempersoalkan penampilan dan kemampuan guru karena merekalah tokoh utama yang
mengantar proses pencapaian hierarkis tujuan instruksional ke tujuan pendidikan
nasional. Penampilan seorang guru di dalam praktik kelas ditentukan oleh konsep
yang dimilikinya tentang pembelajaran.
Pilihan
metode bukan sekadar persoalan penyesuaian teknis terhadap topik yang akan
disampaikan, melainkan berakar pada cara pandang terhadap manusia (anak) dan
bagaimana cara mereka berkebudayaan. Apabila seorang guru memandang anak
sebagai makhluk “kosong” dan berkembang secara mekanis, maka ia cenderung
memilih mengajar dengan pendekatan pedagogis dengan metode menuang air ke dalam
botol (banking system).
Sebaliknya,
jika anak dianggap sebagai ciptaan yang berpotensi dan berkembang dinamis, maka
yang dipergunakan pendekatan andragogis dengan model pembelajaran dialogis.
Tetapi, di Indonesia, kebanyakan guru tidak memiliki pandangan apa-apa tentang
anak sehingga yang terjadi adalah “ritual” pembelajaran tanpa kerangka dan
jiwa.
Dewasa
ini, metodologi pembelajaran mengalami perkembangan sangat pesat. Kemajuan di
dalam psikologi kognitif dan psikologi belajar yang ditopang oleh perkembangan
teknologi informasi telah mendorong dipergunakannya konsep- konsep baru dalam
model pembelajaran.
Misalnya,
perubahan konsep mengajar (teaching) menjadi pembelajaran (learning), perluasan
definisi kecerdasan dari yang cenderung kognitif ditandai IQ (intelligence
quotion) kini berkembang menjadi kecerdasan emosional (emotional quotion/ EQ)
dan kecerdasan spiritual (spiritual quotion/SQ), serta kecerdasan majemuk
(multiple intelligence).
Di
dalam model pembelajaran pun istilah-istilah baru bermunculan, seperti learning
revolution, accelerated learning, quantum learning/teaching. Sayangnya,
perkembangan ini belum menyentuh kelas-kelas sekolah kita. Maka, salah satu
peran penting pendidikan profesi guru adalah menjembatani kesenjangan ini.
Pemerintah secara resmi telah mencanangkan bahwa profesi guru disejajarkan
dengan profesi lainnya sebagai tenaga profesional. Dengan ini diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan karena guru sebagai agen pembelajaran merupakan
ujung tombak peningkatan proses pembelajaran di dalam kelas yang akan berujung
pada peningkatan mutu pendidikan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga
profesional dibuktikan dengan sebuah sertifikat profesi guru yang diperoleh
melalui uji sertifikasi. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah
memenuhi persyaratan sebagai guru profesional.
Gagasan utama di balik
pendidikan profesi guru adalah peningkatan mutu dan pembaruan pendidikan
nasional. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi,
kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru.
Maka, program sertifikasi
seharusnya tidak dipandang sekadar legalisasi untuk memperoleh tunjangan
profesi, tetapi lebih sebagai upaya meningkatkan kompetensi melalui pendidikan
profesi. Kompetensi guru diyakini tidak secara otomatis menjadi baik dengan
menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengubah motivasi
dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam bentuk
pendidikan profesi.
Guru sebagai profesi
Pendidikan profesi guru
mengasumsikan bahwa model penyiapan tenaga kependidikan yang diandalkan selama
ini sudah tidak memadai lagi sehingga memerlukan pembaruan. Program sertifikasi
dan pendidikan profesi guru harus secara nyata menunjukkan langkah-langkah
kemajuan dalam peran guru sebagai sebuah profesi.
Pertanyaan mendasar yang
perlu dijawab adalah guru profesional macam apakah yang hendak “dicetak” lewat
pendidikan profesi dengan 36-an SKS tersebut? Apakah guru-guru dipersiapkan
untuk mengantar murid-murid lulus ujian nasional ataukah mereka dipersiapkan
untuk mengembangkan potensi murid menjadi good citizen, dan insan paripurna? Di
manakah perbedaan mereka dengan guru-guru yang ada sekarang atau dengan diri
mereka sendiri sebelum memasuki “salon” profesionalisme itu?
Ketika persoalan ini tidak
cukup terang, maka pendidikan profesi guru patut menimbulkan keraguan dan
pesimisme karena tidak menawarkan sesuatu yang baru dan tangible kecuali
selembar kertas bernama sertifikat.
Guru yang dinamis
Pendidikan profesi guru
harusnya dirancang berbeda dengan model pembelajaran di Akta IV, S1, dan S2
keguruan. Pendidikan profesi guru bukan menghasilkan saintis pendidikan dan
keguruan, melainkan mendidik seseorang siap dan mahir menjalankan profesinya,
seperti pendidikan kepaniteraan (coass) dokter yang siap menangani pasien
setamat dari pendidikannya.
Sehubungan dengan waktu
yang relatif singkat, maka kompetensi pedagogi, profesional, sosial, dan
personal seperti tersebut di dalam UU Guru dan Dosen harus diterjemahkan secara
obyektif-terukur dan disampaikan secara praktikal. Apabila guru yang ingin
dihasilkan adalah guru dinamis yang dapat mengatasi problem klasik praktik
kelas, beberapa usulan dapat dipertimbangkan dalam merancang kurikulum
pendidikan profesi guru sebagai berikut.
Pertama, pada masa awal
pendidikan diperlukan adanya semacam pelatihan penyadaran profesi yang
bertujuan membangun paradigma baru dan ideologi pendidikan serta kebanggaan
profesi. Pilihan profesi harus diberikan fondasi filosofis yang terhubung
dengan eksistensi dan misi hidupnya. Korelasi ini akan melahirkan motivasi dan
energi besar bagi guru dalam menjalankan tugasnya.
Kedua, pembelajaran di
kelas disusun tidak berdasarkan pada subject matter (mata pelajaran), tetapi
disusun per topik sesuai target sasaran yang diinginkan. Ini penting untuk
menghindarkan pendekatan “sistematika-akademis” yang cenderung membahas banyak hal
yang kurang signifikan.
Ketiga, pendekatan dan
metode yang dipergunakan selama masa pendidikan profesi guru hendaknya
merepresentasikan pembelajaran efektif dan partisipatif. Selama pendidikan,
guru tidak hanya diperkenalkan pada berbagai metode, tapi sebanyak mungkin
mengalami keterlibatan dalam penerapannya. Kegagalan dalam mengajarkan
pendekatan dan metode-metode seperti ini sering disebabkan penyampaiannya
dengan ceramah.
Keempat, pemagangan dan
riset tindakan (action research) haruslah menjadi bagian terbesar dan
terpenting dari aktivitas pendidikan profesi guru. Aktivitas ini adalah upaya
memberikan keterampilan menemukan, menganalisis, dan memecahkan problem-problem
praktik kelas.
Semua program sertifikasi
dan pendidikan profesi guru harus dibingkai oleh filosofi mutu dan pembaruan
pendidikan. Kurikulumnya harus terukur, menawarkan sesuatu yang baru dan perlu.
Potret Realitas Guru
Terdapat
hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar.
Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah.
Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat
kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau
menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP,
75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan ini disampaikan berkenaan
dengan wacana guru profesional, guru yang kompeten sebagai syarat untuk
memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia .
Sebagai
contoh, kasus yang dikemukakan pakar Administrasi Pendidikan UPI Bandung Prof
Nanang Fatah, yaitu pada uji kompetensi Matematika. Dari 40 pertanyaan,
rata-rata hanya dua pertanyaan yang dijawab dengan benar dan pada Bahasa
Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang
pendidikan Bahasa Inggris.
Penggambaran
keadaan itu merupakan fakta yang bukan sepenuhnya merupakan kesalahan guru
sebagai individu. Karena, rasanya kurang adil dan tidak bijak kita terus
menuding permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini dominan
disebabkan oleh guru. Kualitas pendidikan ditentukan oleh sebuah sistem yang
didukung banyak bagian dari kebijakan yang cerdas dan berpihak pada rakyat,
juga implementasi pendidikan yang memenuhi kualifikasi dan prasyarat yang
memadai. Tentu saja Depdiknas sebagai institusi pemerintah yang diberi amanat
oleh rakyat untuk mengurus pendidikan dalam sebuah sistem kurang dapat
melaksanakan dengan baik, kurang amanah.
Program
peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun
namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka
peningkatan kompetensi guru. Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya
reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang
berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan
penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan
tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional
Teaching Standards, dewan nasional standar peng cajaran profesional di Amerika
Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU
Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP
Kualifikasi Guru pada 2001.
Jika
program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru
dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi
mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari
total pengeluaran untuk gaji pada 2005.
Angka
yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial
perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan.
Peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru, bukan jaminan kinerja
guru akan menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi
pendidikan yang jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan
lulusan yang bermutu.
Meski
tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi
setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya
menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih
dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1,
menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan
dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas.
Profesionalisme
guru bukan barang sekali jadi, bim salabim. Hambatan menjadi guru
profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih
banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong
terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun
kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan
diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan
mutu guru harus berlaku sepanjang karirnya.
Harus
disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan
bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal
atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling
berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk
mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya. Semoga!
Sketsa Perjalanan Nasib Guru
Digugu lan ditiru!”
Begitulah akronim yang diberikan oleh orang-orang tua kita pada zaman dulu
terhadap figur seorang guru. Kata-katanya mesti dapat dipercaya, perilakunya
pun dapat diteladani. Ungkapan itu menyiratkan betapa besarnya tanggung jawab
yang harus diemban oleh seorang guru.
Ya, tempo doeloe, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan atau padepokan yang begitu bersahaja, guru memang benar-benar menjadi sosok yang terhormat dan bermartabat. Mereka menjadi figur anutan, mumpuni, berwibawa, dan disegani. Apa kata sang resi menjadi “sabda” tak terbantahkan.
Ya, tempo doeloe, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan atau padepokan yang begitu bersahaja, guru memang benar-benar menjadi sosok yang terhormat dan bermartabat. Mereka menjadi figur anutan, mumpuni, berwibawa, dan disegani. Apa kata sang resi menjadi “sabda” tak terbantahkan.
Institusi
pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka”, tempat seorang pendidik
menggembleng para cantrik agar “kader” menjadi sosok yang arif, tangguh, kaya
ilmu, memiliki kepekaan sosial dan moral yang tinggi. Di mata masyarakat,
kehadiran seorang guru pun begitu tinggi citranya. Bermartabat, terhormat, dan
memiliki legitimasi sosial yang mengagumkan. Masyarakat benar-benar respek
terhadapnya. Tidak jarang sang guru menjadi sumber informasi, sumber “sugesti”,
atau sumber inspirasi masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul.
Namun,
zaman telah berubah. Mengharapkan sosok guru yang mumpuni, dan disegani seperti seorang “imam”,
tampaknya terlalu berlebihan. Di hadapan siswa, kata-kata guru bukan lagi
“sabda” yang mesti diturut. Bahkan, dalam banyak hal, guru harus lebih sering
mengelus dada, merenungi nasibnya yang kurang beruntung. Dengan tingkat
kesejahteraan yang minim, status sosial guru pun semakin tersisih di
tengah-tengah masyarakat yang cenderung memberhalakan hal-hal yang bersifat
duniawi dan kebendaan.
Guru
juga manusia. Punya hati dan rasa. Mereka juga butuh sandang, pangan, dan papan
yang layak. Ketika semua itu belum terpenuhi, salahkah jika guru harus
“membanting tulang”, mencari penghasilan tambahan? Bagaimana mungkin guru bisa
mengajar sekaligus mendidik secara total dan intens kalau masih harus
memilikirkan tuntutan kebutuhan hidup?
Sementara
itu, pada sisi lain, masyarakat tetap menuntut agar guru tampil perfect dan
sempurna bagaikan seorang bijak. Mumpuni ilmunya, terampil mengajar, sekaligus
menjadi teladan bagi siswa didiknya. Dalam bahasa sekarang, guru harus
benar-benar tampil profesional; sebagai agen pembelajaran yang harus memiliki
empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional,
dan sosial.
Menyikapi
kondisi semacam itu, bisa dipahami kalau pemerintah berupaya serius untuk
mengembalikan ke-“saktian”-an seorang guru. UU Guru dan Dosen pun diluncurkan
Desember 2005 yang lalu. Dalam UU itu, kesejahteraan guru cukup menggiurkan
lantaran akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan
jaminan kesejahteraan sosial.
Namun,
untuk memperoleh hak-hak guru semacam itu, tampaknya bukan perkara mudah. Guru
harus memiliki sertifikat pendidik. Prosesnya pun cukup rumit dan berliku.
Minimal harus berpendidikan D-4/S-1. Belum lagi terhitung pelaksanaan program
sertifikasi yang mesti ditempuhnya.
Nah, guru yang terpaksa “gigit jari” ketika gagal memiliki
sertifikat pendidik akibat tidak terpenuhinya unsur dan prosedur yang baku, sejatinya tidak boleh ada
dispensasi.Karena ini momen yang sangat berharga dalam mendorong lahirnya guru
yang prosaesional, Bangsa ini harus bisa menunjukkan bahwa untuk jadi
propessional dibutuihkan kompetensi yang komprihensip.Kecuali sertifikasi ini
hanya merupakan pintru pemerintah untuk memba- bagikan kesejahteraan bagi
guru.Tentu saja itu soal lain.
oooooo0000oooooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar