PROSPEK PEMUDA
DALAM MEMBANGUN KEMBALI NASIONALISME
Oleh : M.Jusar Nasution
Tatkala
Sumpah Pemuda diperingati setiap 28 Oktober, ketika itu pula kita diingatkan
akan Nasionalisme, karena memang itulah intinya. Sejarah menunjukkan ikatan
seluruh wilayah Nusantara terjadi ketika konsep tentang Negara-Bangsa
(Nation-State) hadir. Kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari anak-anak muda Indonesia
pada pergerakan Nasional hingga tercetus Sumpah Pemuda 1928.
Dari
“konsep sederhana” yang baru berisi kesepakatan hidup dalam satu nusa, bangsa,
dan bahasa itulah konsep Negara-Bangsa
Indonesia
berakar. Namun “konsep sederhana” itu hingga sekarang belum dikembangkan
kedalam pemaknaan nilai kebangsaan yang total dan utuh. Dalam kondisi
keindonesiaan yang mejemuk, rentan konflik, dan lemahnya perluasan dan
pemaknaan nasionalisme, diperlukan suatu institusi penengah yang bisa bertindak
sebagai wasit yang adil dengan menegakkan tertib politik dibawah kepemimpinan
hukum. Dan institusi itu adalah Negara.
Masalah
utama politik Indonesia
justru terletak pada ketiadaan institusi negara yang mampu menjadi wasit yang
adil. Praktek kenegaraan yang berlangsung hingga kini hanya melanjutkan
perilaku negara kolonial yang tak mampu menegakkan supremasi hukum, memberi rasa aman dan rasa
adil bagi sektor kebangsaan.
Lebih
parah lagi, bahkan negara seolah-olah menjadi “gladiator” yang ikut berada
didalam medan pertarungan merebut “kehidupan” berbangsa dan bernegara. Didalam
ketiadaan keadilan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan
diri, manusia-manusia Indonesia
lebih nyaman untuk memilih menjadi warga tribus (tribalisme, premanisme, atau
sektariarisme) ketimbang warga negara (Yudi Latif, 2001).
Kondisi
itulah selanjutnya yang memunculkan pemimpin-pemimpin informal dan lokal yang
kuat, tapi miskin wawasan kebangsaan. Kehidupan keseharian kita sebagai sebuah
Negara, hanya diisi dengan aktivitas-aktivitas yang mengedepankan
kepentingan-kepentingan perorangan, kelompok atau golongan.
Persoalan
ekonomi politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan
kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya dirumah tangga kebangsaan. Jika
aparatur negara (Yang merupakan satu kelompok tribus) mengamankan kekuasaan dan
dapurnya sendiri., maka individu-individu atau kelompok lain akan segera
berpaling dan membentuk tribus yang lain.
Disinilah
persoalan ekonomi politik yang objektif disublimasikan kedalam bentrokan
identitas yang subyektif. Politik kekerasan yang dikembangkan kedalam bentrokan
identitas yang subyektif. Politik kekerasan yang dikembangkan oleh negara
segera menjelma menjadi kekerasan politik yang menyumbat proses demokrasi dan
lahirnya civil society yang sehat.
Belajar dari keruntuhan Uni Soviet,
penggunaan instrumen kekerasan tidak mampu menjaga keutuhan negeri itu. Kesan
bahwa etnik Rusia dalam pandangan etnik-etnik lain telah melakukan proses
dominasi didalam “pertarungan” memaknai hakikat dan cita-cita suatu bangsa
telah menjadi pemicu terjadinya pemberontakan yang akhirnya meluluh-lantakan
Uni Soviet. Kalaupun kekerasan itu tidak dapat dilakukan dan tidak ada
pengaruhnya langsung, tentu kekerasan itu disembunyikan oleh kebohongan, dan
kebohongan hanya dapat dipelihara dengan kekerasan (Alxander Solzhenitsyin,
1989).
Fakta-fakta
yang ada dibelahan dunia lain juga telah membuktikan tidak ada suatu bangsapun
dapat menjadi besar jika terus-menerus dilanda konflik dan perpercahan. Di
Afrika misalnya, hingga kini Rwanda masih saja terus tebelit konflik antara
suku Tutsi dan Hutu. Shierra Leon, Sudan dan lainnya telah menunjukkan bahwa
anarki, pembunuhan massal, kemiskinan, hancurnya solidaritas sosial, dan
rusaknya lingkungan (Robert D. Kaplan, 2000).
Pada
titik ini, proses untuk memaknakan “Indonesia” menjadi sebuah keniscayaan.
Proses ini dapat dianggap sebagai proses penormaan kembali (Process of Renorming) fokus utamanya, sebagaimana
disebut Francis Fupuyama, ada pada dekonstruksi dan rekonstruksi. Indonesia
tidak harus dipahami sebagai suatu terminologi dalam kesatuan yang utuh secara
geografis, tapi lebih pada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan
konsep kewarganegaraan.
Nilai
kemanusiaan yang harus dipahami dalam konteks hubungannya dengan negara bangsa
adalah pertama, bagaimana seorang
manusia memahami bahwa ada semangan persaudaraan didalam ikatan suatu wilayah.kedua, bahwa kata bangsa tidaklah muncul
dalam wujud nyata, tetapi akan terungkap didalam semangat psikologis memori
kolektif warganya. Ketiga, bahwa
kehadiran manusia masih mendahului kehadiran bangsa. Seorang manusia tetaplah
manusia, tanpa sebuah bangsa. Disisi lain bahwa mustahil membayangkan sebuah
bangsa tanpa manusia didalamnya.
Lebih
jauh, pemahaman tetang konsep cara pandang kewarganegaraan kitapun harus
dibenahi. Dalam membangun pemahaman tentang kewarganegaraan yang proporsional,
kita harus mendalami defenisi tentang istilah kota (Polish, Madinah),
keberadaan Civility, kemuliaan Nobility, keteratusan Order, dan tertib sosial atau santun
berkeadaban Polite. Singkatnya
menjadi warga politik berarti menjadi manusia beradab berarti memuliakan tingkah
laku, menjadi lebih santun civilize dan
ramah sociable (Fernand Braudel,
1993).
Intinya adalah bahwa tugas insan politik (warga
negara) adalah membangun suatu civil
societi, mengembangkan tertib politik dan nilai-nilai keberadan dibawah
kepemimpinan hukum. Menjadi warga politik (negara) berarti hidup disuatu tempat
dimana segala sesuatunya diselesaikan lewat kata dan persuasi, bukan dengan
paksaan dan kekerasan ( Hannah Arendt, 1977). Dalam tradisi Yunani, memaksa
orang lewat ancaman, kebiasaan memaksa ketimbang membujuk dinilai sebagai
cara-cara Pra-politik ( Pra-Negara).
Dalam
kondisi kekinian Indonesia ,
pemaksaan pemahaman kebangsaan seperti diatas tidaklah arif dan justru
bertentangan dengan pemahaman kebangsaan itu sendiri. Penyelesaian pelbagai persoalan
yang dihadapi oleh negara kita saat ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam
jangka pendek, penyelesaian persoalan yang menyangkut menjaga keutuhan bangsa
adalah bagaimana para elit politik sama-sama mengedepankan konsep rekosiliasi
nasional yang konkrit, yang mengedepankan kepentingan bangsa, dan komitmen
menempatkan hukum diatas seluruh penyelesaian masalah bangsa.
Untuk
jangka menengah dan panjang, perlu pula dirumuskan suatu pola pembinaan yang
sistematis, terpadu dan berkala bagi generasi muda untuk mendalami dan memahami
wawasan dan komitmen kebangsaan. Hal ini penting, agar perjalanan masa depan Indonesia tidak
lagi mengalami krisis kebangsaan seperti saat ini. Kaum muda yang diharapkan
menjadi pemimpin masa depan bangsa, sejak dini harus dibekali pemahaman tentang
peta persoalan kebangsaan (Nasionalisme) hari ini serta juga memahami apa
sesungguhnya nilai-nilai dan menjadi modal sosial dalam pembangunan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar