Kamis, 07 Februari 2013


PROSPEK PEMUDA
DALAM MEMBANGUN KEMBALI NASIONALISME

Oleh : M.Jusar Nasution


 Tatkala Sumpah Pemuda diperingati setiap 28 Oktober, ketika itu pula kita diingatkan akan Nasionalisme, karena memang itulah intinya. Sejarah menunjukkan ikatan seluruh wilayah Nusantara terjadi ketika konsep tentang Negara-Bangsa (Nation-State) hadir. Kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari anak-anak muda Indonesia pada pergerakan Nasional hingga tercetus Sumpah Pemuda 1928.
            Dari “konsep sederhana” yang baru berisi kesepakatan hidup dalam satu nusa, bangsa, dan bahasa itulah konsep Negara-Bangsa Indonesia berakar. Namun “konsep sederhana” itu hingga sekarang belum dikembangkan kedalam pemaknaan nilai kebangsaan yang total dan utuh. Dalam kondisi keindonesiaan yang mejemuk, rentan konflik, dan lemahnya perluasan dan pemaknaan nasionalisme, diperlukan suatu institusi penengah yang bisa bertindak sebagai wasit yang adil dengan menegakkan tertib politik dibawah kepemimpinan hukum. Dan institusi itu adalah Negara.
            Masalah utama politik Indonesia justru terletak pada ketiadaan institusi negara yang mampu menjadi wasit yang adil. Praktek kenegaraan yang berlangsung hingga kini hanya melanjutkan perilaku negara kolonial yang tak mampu menegakkan  supremasi hukum, memberi rasa aman dan rasa adil bagi sektor kebangsaan.
            Lebih parah lagi, bahkan negara seolah-olah menjadi “gladiator” yang ikut berada didalam medan pertarungan merebut “kehidupan” berbangsa dan bernegara. Didalam ketiadaan keadilan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan diri, manusia-manusia Indonesia lebih nyaman untuk memilih menjadi warga tribus (tribalisme, premanisme, atau sektariarisme) ketimbang warga negara (Yudi Latif, 2001).
            Kondisi itulah selanjutnya yang memunculkan pemimpin-pemimpin informal dan lokal yang kuat, tapi miskin wawasan kebangsaan. Kehidupan keseharian kita sebagai sebuah Negara, hanya diisi dengan aktivitas-aktivitas yang mengedepankan kepentingan-kepentingan perorangan, kelompok atau golongan.
            Persoalan ekonomi politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya dirumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara (Yang merupakan satu kelompok tribus) mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri., maka individu-individu atau kelompok lain akan segera berpaling dan membentuk tribus yang lain.
            Disinilah persoalan ekonomi politik yang objektif disublimasikan kedalam bentrokan identitas yang subyektif. Politik kekerasan yang dikembangkan kedalam bentrokan identitas yang subyektif. Politik kekerasan yang dikembangkan oleh negara segera menjelma menjadi kekerasan politik yang menyumbat proses demokrasi dan lahirnya civil society yang sehat.
            Belajar dari keruntuhan Uni Soviet, penggunaan instrumen kekerasan tidak mampu menjaga keutuhan negeri itu. Kesan bahwa etnik Rusia dalam pandangan etnik-etnik lain telah melakukan proses dominasi didalam “pertarungan” memaknai hakikat dan cita-cita suatu bangsa telah menjadi pemicu terjadinya pemberontakan yang akhirnya meluluh-lantakan Uni Soviet. Kalaupun kekerasan itu tidak dapat dilakukan dan tidak ada pengaruhnya langsung, tentu kekerasan itu disembunyikan oleh kebohongan, dan kebohongan hanya dapat dipelihara dengan kekerasan (Alxander Solzhenitsyin, 1989).
            Fakta-fakta yang ada dibelahan dunia lain juga telah membuktikan tidak ada suatu bangsapun dapat menjadi besar jika terus-menerus dilanda konflik dan perpercahan. Di Afrika misalnya, hingga kini Rwanda masih saja terus tebelit konflik antara suku Tutsi dan Hutu. Shierra Leon, Sudan dan lainnya telah menunjukkan bahwa anarki, pembunuhan massal, kemiskinan, hancurnya solidaritas sosial, dan rusaknya lingkungan (Robert D. Kaplan, 2000).
            Pada titik ini, proses untuk memaknakan “Indonesia” menjadi sebuah keniscayaan. Proses ini dapat dianggap sebagai proses penormaan kembali (Process of  Renorming) fokus utamanya, sebagaimana disebut Francis Fupuyama, ada pada dekonstruksi dan rekonstruksi. Indonesia tidak harus dipahami sebagai suatu terminologi dalam kesatuan yang utuh secara geografis, tapi lebih pada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan konsep kewarganegaraan.
            Nilai kemanusiaan yang harus dipahami dalam konteks hubungannya dengan negara bangsa adalah pertama, bagaimana seorang manusia memahami bahwa ada semangan persaudaraan didalam ikatan suatu wilayah.kedua, bahwa kata bangsa tidaklah muncul dalam wujud nyata, tetapi akan terungkap didalam semangat psikologis memori kolektif warganya. Ketiga, bahwa kehadiran manusia masih mendahului kehadiran bangsa. Seorang manusia tetaplah manusia, tanpa sebuah bangsa. Disisi lain bahwa mustahil membayangkan sebuah bangsa tanpa manusia didalamnya.
            Lebih jauh, pemahaman tetang konsep cara pandang kewarganegaraan kitapun harus dibenahi. Dalam membangun pemahaman tentang kewarganegaraan yang proporsional, kita harus mendalami defenisi tentang istilah kota (Polish, Madinah), keberadaan Civility, kemuliaan Nobility, keteratusan Order, dan tertib sosial atau santun berkeadaban Polite. Singkatnya menjadi warga politik berarti menjadi manusia beradab berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih santun civilize dan ramah sociable (Fernand Braudel, 1993).
            Intinya adalah bahwa tugas insan politik (warga negara) adalah membangun suatu civil societi, mengembangkan tertib politik dan nilai-nilai keberadan dibawah kepemimpinan hukum. Menjadi warga politik (negara) berarti hidup disuatu tempat dimana segala sesuatunya diselesaikan lewat kata dan persuasi, bukan dengan paksaan dan kekerasan ( Hannah Arendt, 1977). Dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat ancaman, kebiasaan memaksa ketimbang membujuk dinilai sebagai cara-cara Pra-politik ( Pra-Negara).
            Dalam kondisi kekinian Indonesia, pemaksaan pemahaman kebangsaan seperti diatas tidaklah arif dan justru bertentangan dengan pemahaman kebangsaan itu sendiri. Penyelesaian pelbagai persoalan yang dihadapi oleh negara kita saat ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam jangka pendek, penyelesaian persoalan yang menyangkut menjaga keutuhan bangsa adalah bagaimana para elit politik sama-sama mengedepankan konsep rekosiliasi nasional yang konkrit, yang mengedepankan kepentingan bangsa, dan komitmen menempatkan hukum diatas seluruh penyelesaian masalah bangsa.
            Untuk jangka menengah dan panjang, perlu pula dirumuskan suatu pola pembinaan yang sistematis, terpadu dan berkala bagi generasi muda untuk mendalami dan memahami wawasan dan komitmen kebangsaan. Hal ini penting, agar perjalanan masa depan Indonesia tidak lagi mengalami krisis kebangsaan seperti saat ini. Kaum muda yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan bangsa, sejak dini harus dibekali pemahaman tentang peta persoalan kebangsaan (Nasionalisme) hari ini serta juga memahami apa sesungguhnya nilai-nilai dan menjadi modal sosial dalam pembangunan negara.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar